http://i1.tribune.com.pk/wp-content/uploads/2013/05/554058-degree-1369426887-203-640x480.JPG |
Beberapa waktu yang lalu, sayah
mengirimkan lamaran dosen ke suatu universitas swasta. Pengiriman lamaran kerja
ini modal nekad sebenarnya…nekadnya adalah sayah mengirimkan ke tempat dimana
sayah tidak memenuhi persyaratan secara administratif yang dicantumkan pada
info lowongan pekerjaan.
Namun dibalik itu, sayah merasa cukup yakin bahwa
kemampuan sayah memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan. Maka dari itulah sayah
masih penasaran…apakah pihak universitas akan melakukan penilaian terhadap
sayah sekedar dari sudut administratif (gelar)?... ataukah kemampuan?.
Bahkan dalam surat lamaran yang
sayah kirimkan, di akhir surat sayah sebutkan, yang pada intinya bahwa memang
gelar akademis sayah tidak sesuai sebagaimana yang dipersyaratkan. Namun sayah
merasa punya kemampuan minimal yang dibutuhkan, dan sayah siap di tes kapan pun
juga, untuk membuktikannya. Ya, semacam kalimat tantangan sayah tuliskan.
Beberapa hari setelahnya, sayah
mendapatkan balasan surat atas lamaran sayah tersebut . Pada akhir suratnya
terdapat kalimat,
“…permohonan Saudara belum dapat kami kabulkan mengingat
persyaratan adminstratif dan kualifikasi yang telah ditentukan tidak terpenuhi”.
Ya, tantangan sayah tidak diterima.
Sayah jadi teringat tulisan Ayah
Edy dengan judul “Kisah di Negeri 1001 Gelar”.
![]() |
http://www.degree.com/wp-content/gallery/homepage-gallery/gal_degrees.jpg |
" Gelar oh gelar…tiada Tuhan selain
gelar.
Padahal orang-orang besar yang mengubah peradaban dunia justru tidak
bergelar, tapi mengapa manusia begitu bangga dengan yang namanya gelar.
Gelar
ibarat sebuah nyawa dalam hidup, tanpa gelar sepertinya seseorang tak kan
pernah bisa hidup, tapi mengapa justru mereka yang mengubah kehidupan dunia
lebih banyak yang tidak bergelar
.
Gelar oh gelar…semuanya diukur
dengan gelar.
Bahkan dalam semua aspek kehidupan, prestasi, kemampuan, isi
kepala tidak lagi menjadi penting. Jauh lebih penting memiliki gelar dan jumlah
gelar yang dimilikinya.
Gelar oh gelar…Tiada Tuhan selain
Gelar.
Bahkan untuk mencari pasangan hidup pun di negeri ini gelar menjadi
salah satu persyaratannya.
Ya…isi kepala dan nilai kemuliaan manusia hanya
diukur sebatas gelar.
Anda tidak boleh masuk ke sini jika tidak bergelar anu,
atau Anda tidak boleh mengikuti ini asalkan minimal bergelar anu.
Anda tidak
boleh menjadi itu jika tidak memiliki gelar setinggi ini, begitulah isi sebuah
aturan main di negeri 1001 gelar.
Sehebat apa pun prestasi Anda dan
sebesar apa pun jasa Anda, Anda tak akan pernah naik peringkat jika Anda tidak
mau menambah jumlah gelar yang Anda miliki saat ini.
Begitulah
pembatasan-pembatasan yang telah dibuat di negeri 1001 gelar.
Gelar…oh gelar…
Ya, gelar-gelar
yang telah membuat sombong orang yang memilikinya, yang telah merendahkan orang
yang tidak memilikinya, dan yang telah membuat para orangtua begitu khawatir
akan anak-anaknya.
Hingga berduyun-duyunlah orang berebut gelar.
Ya, karena
segalanya diukur berdasarkan gelar.
Maka menyingkirlah segera wahai
pemikir-pemikir hebat dan orang-orang berprestasi di negeri itu jika Anda tak
bergelar.
Bahkan yang tak kalah luar
biasanya adalah untuk menjalankan perintah Tuhan Yang Maha Agung sekalipun,
mereka masih belum rela rasanya jika tidak menambahkan gelar setelah
melaksanakannya.
Sungguh luar biasa.
Tiada Tuhan selain Gelar.
Itulah semboyan
yang paling terkenal di negeri 1001 gelar.
Untunglah dunia olahraga sejak
dahulu tidak ikut-ikutan untuk mendewa-dewakan gelar.
Anda atau siapa pun tanpa
terkecuali boleh ikut ambil bagian dan unjuk gigi di dunia ini.
Tidak peduli
apa pun gelar Anda, hanya prestasilah taruhannya.
Siapa yang tidak unggul dia
akan segera diminta mundur, tidak seperti di negeri 1001 gelar.
Dunia olahraga adalah dunia
prestasi yang dari waktu ke waktu tidak pernah ada kemunduran.
Catatannya
selalu bergerak maju.
Anda dinilai berdasarkan kemampuan bukan berdasarkna
berapa tingginya gelar Anda atau berapa banyaknya gelar yang mengiringi nama
Anda.
Begitulah kehidupan di negeri
1001 gelar…
Negeri ini semakin hari semakin terpuruk.
Karena negara harus
menanggung beban yang demikian berat terhadap orang-orang yang tidak
berprestasi tapi memiliki gelar yang berbaris dari depan hingga di belakang
namanya.
Bahkan yang jauh lebih
memprihatinkan lagi ternyata bahwa sebagian besar masyarakat di negeri 1001
gelar sudah mulai lupa apa arti “Kemampuan Unggul”, apa arti “Prestasi” dan
dari hasil temuan terakhir diketahui bahwa di dalam kamus besar bahasa, di
negeri 1001 gelar, juga sudah tidak memuat lagi kata-kata seperti “Prestasi”, “Kemampuan”,
“Kinerja”, “Keahlian”, dan sejenisnya, melainkan telah diganti dengan rangkaian
daftar panjang gelar-gelar lama yang sebagian telah dikonversikan menjadi
gelar-gelar baru yang semakin rumit dan membingungkan.
Begitulah Kisah di Negeri 1001
gelar, sebuah Negeri yang pada akhirnya selalu diliputi oleh 1001 masalah dan
1001 bencana yang terus dating silih berganti.
Sungguh menakutkan akhir sebuah
cerita dari sebuah negeri yang menganut paham Tiada Tuhan selain Gelar.
Ah…seandainya saja kita mau
belajar dari negeri 1001 gelar ini, mungkin kita bisa lebih cepat sadar dan
bertobat.”
Ya…sayah mau belajar.
Ya…sayah mau memulai langkah.
Kapan pun, dimana pun sayah berada, sayah akan berkumpul dengan orang-orang yang
mau juga belajar, mau memulai langkah. Langkah pembuktian, untuk mencari
potensi unggul kami dari masing-masing individu, dan kelak kami akan membuktikan bahwa
kemampuan unggul lebih utama dari sekedar gelar.
Karena kemampuanlah yang membuat
mampu untuk menopang kehidupan, bukan sekedar gelar.
R.M.R
No comments:
Post a Comment